PALU,- Wakajati Sulawesi Tengah Zullikar Tanjung, S.H., M.H didampingi Aspidum Fithrah, S.H., M.H memimpin ekspose
Perkara tindak pidana kembali dihentikan penuntutannya dengan pendekatan keadilan restoratif pada wilayah hukum Kejati Sulteng, Senin, 09 September 2024
penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restorative. Penerapan restorative justice lebih melihat kepada esensinya dengan menerapkan sisi kehumanisan dalam setiap penerapannya. Seperti yang terjadi di Desa Tongko, Kabupaten Poso.
dimana tersangka seorang an. Nur Ikhwan alias wawan menuju kebun milik saksi korban Dewi Chatriani alias Mama Arka dan mengambil 2 unit mesin pemotong rumput dan menyimpan di pondok kosong milik sdra. Wahid, keesokan harinya menjual 1 unit dan menjual dengan harga 600.000 kepada saksi supri. Atas perbuatan tersebut tersangka Wawan diancam pidana pada pasal 362 KUHP.
Kejari Negeri Poso melalui jaksa penuntut umum mencoba melakukan mediasi dan mempertemukan tersangka dengan korban serta disaksikan oleh pihak keluarga serta tokoh agama dan tokoh masyarakat.
Tersangka dan korban akhirnya berdamai dan bersepakat untuk tidak melanjutkan perkaranya ke persidangan.
Selain itu perkara lain dilakukan pula proses perdamaian penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restorative pada Cabang Kejaksaan Negeri Poso di Tentena dengan kasus posisi tersangka An. San Tolaki alias Papa Irfan mengambil 1 karung biji coklat milik saksi korban Lalong Bare alias Papa Lili dan menjual ke toko milik saksi pilipus amsel pagiling.
Bahwa akibat perbuatan tersebut tersangka terancam Pasal 367 Ayat 2 KUHPidana subsider pasal 362. Mengingat bahwa tersangka dan saksi korban masih memiliki hubungan keluarga, dimana ibu Tersangka merupakan saudara kandung dari istri korban dengan kata lain hubungan paman dan kemenakan, jaksa penuntut umum kembali melakukan upaya proses perdamaian bertempat di Rumah RJ Kejaksaan Negeri Poso. Tersangka dan saksi korban sepakat untuk berdamai.
Kasipenkum Kejati Sulteng menyampaikan alasan yang menjadi pertimbangan penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restorative kedua perkara tersebut antara lain tersangka baru pertama kali melakukan tindak pidana, telah adanya kesepakatan berdamai tanpa syarat, ancaman pidana perkara tidak lebih dari 5 Tahun serta masyarakat merespon positif.
Lebih lanjut Kasi Penkum menyampaikan proses penghentian penuntutan sebuah perkara dengan penerapan Perja No. 15 Tahun 2020 tidak serta merta dilakukan begitu saja. Prosesnya melalui beberapa tahapan dan dilakukan secara berjenjang dari JPU ke Kajari, lanjut ke Aspidum, kemudian Kajati melakukan ekspose dihadapan JAM Pidum hingga akhirnya diputuskan apakah dihentikan atau diteruskan ke persidangan.
Dan sampai disetujuinya sebuah perkara untuk dihentikan perkara secara humanis, artinya antara tersangka dan korban sudah bersepakat berdamai, dan tersangka berjanji tidak akan mengulangi perbuatan yang sama.
Serta syarat utama dilakukannya penghentian penuntutan sebuah perkara adalah tersangka baru pertama kali melakukan tindak pidana, ancaman hukumannya tidak lebih dari lima tahun, kerugian yang ditimbulkan tidak lebih dari Rp2,5 juta.;